PERTANIAN - Bayangkan sebuah negeri di mana sawah-sawah menghijau, petani tersenyum puas, dan beras lokal memenuhi meja makan setiap keluarga. Tidak ada lagi kecemasan akan krisis pangan, tidak ada ketergantungan pada impor gandum dari negeri seberang. Itulah swasembada pangan: cita-cita luhur yang menjadi lambang kedaulatan bangsa. Namun, apakah cukup hanya menanam lebih banyak? Tentu tidak! Di balik kata "swasembada" tersembunyi pertanyaan besar: apakah petani benar-benar mendapat untung yang layak dari jerih payah mereka?
Mari kita gali lebih dalam. Di atas kertas, swasembada pangan terlihat sederhana, memproduksi cukup pangan untuk kebutuhan dalam negeri. Namun di dunia nyata, di tengah lumpur sawah dan terik matahari, kenyataan jauh lebih rumit. Bagi petani, menanam padi bukan sekadar soal panen, tetapi soal untung. Jika biaya produksi lebih mahal daripada harga jual, siapa yang mau bertahan menjadi petani?
Inilah sebabnya kebijakan harga menjadi kunci utama. Pemerintah harus memastikan harga jual hasil tani lebih tinggi dari biaya produksi. Tidak tanggung-tanggung, keuntungan itu setidaknya harus 20?ri ongkos yang mereka keluarkan. Apa artinya? Kalau seorang petani mengeluarkan Rp1 juta untuk menanam padi, ia harus membawa pulang Rp1, 2 juta dari hasil penjualannya. Insentif ini bukan hanya soal angka, tapi soal harapan: harapan untuk hidup layak, untuk menyekolahkan anak, dan untuk tetap mencintai sawah yang mereka garap.
Dilema Rantai Distribusi: Dari Petani ke Meja Makan
Tapi tunggu dulu, di mana masalahnya? Di tengah perjalanan padi dari sawah ke meja makan kita, keuntungan sering kali tersedot di rantai distribusi. Perantara mengambil margin terlalu besar, meninggalkan petani dengan sisa yang tak seberapa. Di sisi lain, harga pasar yang fluktuatif kadang menjadi bumerang bagi mereka. Hari ini harga melambung, besok bisa anjlok tanpa ampun.
Dan jangan lupakan masalah klasik: subsidi yang sering salah sasaran. Bukannya membantu petani kecil, pupuk bersubsidi malah mengalir ke gudang-gudang penimbun. Hasilnya? Petani terpaksa membeli input produksi dengan harga pasar yang mahal, sementara keuntungan terus menipis.
Solusi yang Menggigit: Harga Dasar dan Teknologi
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengatur strategi dengan cerdik. Pertama, tetapkan harga dasar untuk komoditas penting. Harga ini harus cukup tinggi untuk menjamin keuntungan 20?gi petani. Jangan takut rugi! Ini bukan pengeluaran, melainkan investasi jangka panjang bagi ketahanan pangan negara.
Kedua, potong jalur distribusi yang terlalu panjang. Dengan teknologi digital, pasar langsung antara petani dan konsumen bisa menjadi solusi. Misalnya, aplikasi online yang memungkinkan konsumen membeli beras langsung dari kelompok tani tanpa perantara. Selain lebih murah bagi pembeli, petani pun menikmati harga jual yang lebih tinggi.
Ketiga, benahi sistem subsidi. Pastikan hanya petani kecil yang benar-benar menerima bantuan. Penggunaan kartu tani berbasis data digital bisa membantu memastikan subsidi tepat sasaran.
Baca juga:
Babinsa Berbagi Ilmu Merawat Timun
|
Keuntungan 20%: Bukan Sekadar Angka
Mengapa margin 20% itu penting? Karena dengan keuntungan ini, petani bisa berinvestasi pada masa depan. Mereka bisa membeli benih unggul, memanfaatkan teknologi modern, atau bahkan diversifikasi produk. Dengan demikian, pertanian tidak hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas—hasil panen yang lebih sehat, lebih bernilai, dan lebih kompetitif di pasar global.
Akhir yang Membahagiakan: Petani Berdaya, Bangsa Merdeka
Pada akhirnya, swasembada pangan adalah tentang lebih dari sekadar menanam padi. Ini soal keadilan bagi petani, soal memastikan mereka tetap menjadi aktor utama dalam rantai pangan nasional. Ketika mereka mendapatkan keuntungan yang layak, mereka tidak hanya menanam padi, tetapi juga menanam harapan bagi masa depan bangsa.
Dan kita, sebagai konsumen, juga diuntungkan. Dengan mendukung swasembada pangan, kita tak hanya menikmati nasi yang ditanam dengan cinta, tetapi juga berkontribusi pada kedaulatan negeri ini. Jadi, mari kita dukung petani dengan lebih dari sekadar tepuk tangan. Karena ketika petani berdaulat, perut kita pun merdeka.
Jakarta, 20 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi